CERITA PANAS TERBARU
- Home
- Cerita Porno
- CERITA PANAS TERBARU
Kota M terletak kurang lebih 100-an kilometer dari kota kelahiran Joni. Ke sanalah saat ini pemuda itu menuju, naik kendaraan umum bersama kawan ayahnya, Paman Tingga namanya, yg bersedia menampung Joni selagi ia mempersiapkan diri untuk seleksi perguruan tinggi. Pagi tetap basah serta agak berembun ketika keduanya pergi ke terminal berlangsung kaki.
Sambil melangkah, Joni mengenang perpisahannya tadi malam dengan Maya. Ada kesenduan di raut muka gadis manis itu, mesikipun Joni berusaha menghiburnya dengan bercanda. Lagipula, apa yg dirisaukannya? Toh, mereka hanya bakal berpisah dua bulan.
Cerita Mesum Terakhir | Bagi Joni, tidak apa lah berpisah dari Maya, sebab ia merasa memerlukan konsentrasi penuh untuk persiapan masa depannya. Namun bagi Maya rupanya agak lain. Gadis itu merasa inilah awal dari suatu perpisahan panjang yg tidak terelakkan.
Malam itu mereka meminta ijin untuk melihat. Kedua orangtua Maya mengijinkan, dengan perjanjian supaya mereka pulang sebelum pukul 11. Namun, mereka mengabolisi agenda melihat, sebab nyatanya film yg tadinya mereka bakal tonton telah diganti dengan suatu film silat. Akhirnya mereka duduk saja di pinggir alun-alun dekat pantai.
Ada suatu tembok singkat pembatas alun-alun dengan jalan. Di sana lah keduanya duduk berayun-ayun kaki, menghadap ke selatan ke arah laut yg menghitam nun di sana. Awan hujan tidak tampak di langit, namun angin terasa mulai dingin. Joni memeluk pundak kekasihnya.
Apa rencana kalian seusai kursus?” tanya Maya sambi memainkan kancing bawah jaketnya.
“Mmmm …, belum tahu. Mungkin langsung ikut test seleksi,” jawab Joni.
Ia terbukti menuturkan kemungkinan ini dengan ayahnya berbagai waktu yg lalu. Ayah serta bunda juga setuju apabila Joni ingin ikut test langsung di lokasi perguruan tinggi yg ditujunya, di kota B. Namun, menurut kedua orangtuanya, keputusan ada di tangan Joni seusai ikut kursus.
“Berarti kalian langsung ke B…,” ujar Maya sambil mengibaskan rambut yg menutupi mukanya.
“Ya,.. bahagia sekali kalau dapat ikut test di sana. Aku ingin sekali melihat kampusnya. Kata orang, kampus itu besar sekali, berkali-kali lebih besar dari alun-alun ini!” jawab Joni bersemangat.
Ia merasa, ikut ujian seleksi di kampus itu bakal meningkatkan motivasi serta kemungkinan lulus.
“Namun, itu berarti kami tidak bakal berjumpa lagi,” bisik Maya.
Joni menoleh. Memandang kekasihnya yg saat ini menunduk. Rambutnya yg legam tergerai menutup wajahnya. Dengan lembut, Joni mencoba menyibak rambut itu. Maya mengelak. Joni mencoba lagi, Maya tetap mengelak, bahkan melepaskan diri dari pelukan kekasihnya.
“Apa maksudmu?” tanya Joni.
Maya menggeser duduknya menjauh, lalu menghadapkan tubuhnya ke Joni. Wajahnya serius, “Maksudku,… kami bakal berpisah terus lama. Lalu, kalau diterima di perguruan tinggi,… kalian serta aku bakal sama-sama sibuk kuliah. Kemungkinan, kami tidak bakal berjumpa lagi dalam waktu satu alias dua tahun. Alias mungkin lebih.”
“Ya,… agaknya begitu,” ujar Joni pelan.
Ia terbukti juga punya dugaan yg sama, namun apa yg dapat diperbuatnya? Bukankah sekolah tinggi-tinggi merupakan keinginan mereka berdua? Kalau mereka terpaksa berpisah sebab keinginan itu, apa yg dapat mereka perbuat?
“Lalu kami bakal saling melupakan…,” bisik Maya, matanya berkaca-kaca.
“Kenapa saling melupakan?” sergah Joni.
“Sebab kami bakal sama-sama sibuk kuliah…”
“Namun kami dapat saling menyurati. Kami dapat … “
“Tetap saja….,” Maya memotong dengan cepat,
“Kita tetap bakal saling menjauh tanpa kami sengaja.”
“Kita tetap dapat berjumpa lagi, Maya. Aku pasti itu!” ujar Joni mencoba tegas, meski ia sendiri tidak tahu apakah suaranya betul-betul kedengaran tegas.
Ia sendiri ragu, apakah terbukti ada kepastian di masa depan? Bukankah masa depan rutin samar-samar?
Maya menghela nafas panjang, lalu menghempaskannya dalam desah yg keras.
“Yah .. pasti kami berjumpa lagi, namun mungkin sebagai dua orang yg tidak sama…” ucapnya pelan.
Joni terdiam. Tiba-tiba ia sadar, alangkah ia tidak kuasa mengatur ajaran kenasiban. Alangkah kecilnya ia menghadapi dunia yg begitu luas, yg berada di luar batas kendalinya. Ia ingin sekolah serta menjadi arsitek ulung, namun untuk itu ia wajib meninggalkan tidak sedikit sekali kenangan manis.
Tdk hanya Maya, namun juga Susi adik satu-satunya, ayah serta ibunya, kawan-kawannya, sungai tempatnya berenang, pantai yg menyimpan jutaan memori, hutan kenari, kota kecil yg damai ….. tidak sedikit sekali!
“Melamun apa?” teguran Paman Tingga di sampingnya membikin Joni tersentak.
Tak terasa, mereka telah hingga di terminal. Joni tersipu sambil berbohong, berbicara bahwa ia sedang membaygkan kota M.
Paman Tingga tersenyum, lalu menepuk pundaknya.
“Jangan bohong. Kalian pasti sedang melamunkan pacarmu,” ucapnya sambil tertawa pelan.
“Yah,.. yg itu juga kulamunkan, sambil membaygkan kota M,” jawab Joni tidak mau kalah.
Paman Tingga tertawa lebih keras.
Mereka naik ke kendaraan umum yg telah menantikan. Joni duduk dekat jendela, sementara kawan ayahnya turun lagi untuk membeli makanan kecil serta minuman. Joni tinggal di atas mobil, melanjutkan lamunannya.
Seusai bosan duduk di alun-alun, Maya serta Joni berlangsung-jalan menyusur pantai. Pada malam hari, khususnya di saat libur sekolah semacam ini, serta apabila hujan tdk turun, pantai rutin ramai oleh warung-warung serta orang yg berlangsung-jalan. Anak-anak tampak berlarian main kejar-kejaran. Sekelompok orang tampak duduk mengelilingi sepasang lelaki bermain catur diterangi lampu petromaks.
Di tempat lain, sekelompok remaja bernyanyi-nyanyi diiringi gitar. photomemek.com Berpasang-pasang kekasih tampak juga berlangsung-jalan semacam halnya Joni serta Maya. Sekali-kali mereka berpapasan dengan orang yg dikenal, saling bertegur sapa, alias sejenak berhenti untuk bercakap berbasa-basi.
Maya serta Joni lebih tidak sedikit diam sambil berlangsung. Masing-masing tenggelam dalam lamunan, khususnya mengenai telah tibanya saat perpisahan. Masing-masing mencoba mencari apa saja kah makna perpisahan itu? Namun mereka berdua hanya menemukan satu: perpisahan itu menyakitkan. Memedihkan. Membikinmu tidak berdaya.
Maya menggamit tekan kekasihnya, meremas pelan, lalu bertanya memecah keheningan,
“Apakah kalian mencintai ku?”
“Ya,” jawab Joni pendek. Sial! Mengapa singkat sekali jawaban itu? umpat Joni dalam hati. Namun, lalu seberapa panjang kah sewajibnya? Satu kalimat? Dua kalimat? Satu halaman surat? Seberapa kah?
“Kenapa kalian tdk sempat berkatanya?” tanya Maya lagi.
“Kenapa?” malah Joni balik bertanya.
“Aku yg bertanya duluan. Kamu, koq, malah bertanya kembali,” sergah Maya.
“Ya. Aku juga bertanya sendiri, kenapa aku tidak sempat berkatanya,”
“Lalu, apa jawabnya?” desak Maya.
“Aku tidak tahu. Namun kenapa itu jadi masalah, Maya? Aku terbukti tidak sempat mengucapkannya. Aku tidak dapat. Tidak pandai,” jawab Joni agak kesal.
Maya menghentikan langkah. Joni terpaksa juga ikut berhenti. Mereka telah berada agak jauh dari keramaian. Suara ombak berdebur keras. Terus terdengar keras di tengah keheningan.
Maya memegang kedua tangan Joni, menghadapnya dengan muka tengadah, memandang dengan mata beningnya. Sebagian rambut menutupi mukanya, melintang di hidungnya yg bangir, di bibirnya yg ranum, di pipi berlesung-pipitnya.
Ah, Joni melihat kecantikan semata di tengah samar-samar malam. Melihat sinar kerinduan di mata itu, bagaikan bintang-bintang berpijar lembut. Melihat seraut wajah tempat ia melabuhkan cita-cita-cita-citanya. Mengapa semuanya tampak begitu mengesankan saat engkau wajib berpisah?
Maya terpejam merasakan nafas kekasihnya dekat sekali menerpa wajahnya. Bibir Joni perlahan menyentuh bibirnya. Kedua tangan mereka saling meremas. Angin keras mengibarkan jaket-jaket mereka. Ciuman hari ini terasa sangat lembut, selembut awan putih di langit biru.
Sangat hangat, sehangat mentari di pagi yg cerah. Mesra serta manja mengalunkan kerinduan. Maya membuka mulutnya, mengajak kekasihnya datang merasuki seluruh jiwa-raganya. Datang lah kekasih, reguk habis rinduku, bawa daku terbang dengan tinggi mungkin.
Keduanya berdiri rapat. Joni mengulum mesra bibir kekasihnya, menghirup harum-sedap nafasnya, menggigit manja lidahnya yg nakal. Maya membuka sedikit matanya, memandang wajah Joni yg dekat sekali di depannya. Sebentar lagi ia bakal pergi jauh, gumam Maya dalam hati. Sebentar lagi wajah itu hanya bakal ada di dompet ku, menjadi suatu potret kekasih yg mungkin juga bakal segera lusuh sebab terlalu tidak jarang disentuh.
Sambil membalas ciuman kekasihnya, diam-diam Maya merekam wajah itu sedetil mungkin. Mematrinya di benak. Ah, Joni ….. dahinya yg rutin serius. Matanya yg tajam-tegas. Tulang pipinya yg mengguratkan ketakmenyerahan. Hidungnya yg menggemaskan (aku bahagia sekali mencubit hidung itu!). Bibirnya yg rutin bergairah. Rutin!
Joni melepaskan ciumannya, membuka mata serta menemukan sepasang mata kekasihnya memandang mesra. Ia berbisik,
“Maya, aku ingin bercumbu malam ini. Mari kami pergi dari sini…”
Maya tertawa pelan,
“Kemana kalian hendak membawa ku?” tanyanya sambil memeluk leher Joni.
Joni melihat sekeliling. Pantai tampak sepi, namun juga terlalu menakutkan di tengah malam semacam ini. Tdk di sini. Joni memutuskan untuk mengajak Maya ke suatu tempat yg selagi ini menjadi “persembunyian” mereka: suatu pondok di tengah kebun kopi. Namun lokasinya ada di segi lain dari kota, jadi untuk ke sana mereka butuh berlangsung cepat.
“Ke sana?” Maya bertanya ketika melihat Joni diam saja.
Ah, gadis ini terbukti dapat membaca pikiran ku, ujar Joni dalam hati.
“Ayo, kami ke sana…,” kata Joni bergairah, menggulung kaki celananya serta luar biasa tangan Maya untuk meninggalkan pantai. Maya tertawa kecil, mengikuti tarikan tangan ke kasihnya. Sebentar kemudian mereka telah berlari-lari menyebrang jalan, menelusuri alun-alun menuju tengah kota. Lalu, di depan kantor camat mereka berbelok, melintasi persawahan, berlangsung beriringan sambil sekali-sekali bercanda. Malam terus larut….
“Waahhh… melamun lagi!” Paman Tingga telah naik kembali ke mobil.
Joni terperanjat serta tersipu lagi. Sialan! Lamunannya terpotong di tengah jalan.
“Nih,… makan kacang goreng supaya tdk terlalu tidak sedikit melamun,” ujar Paman Tingga sambil menyodorkan sebungkus kacang.
Joni mengucapkan terimakasih serta mulai memasukkan berbagai butir ke mulutnya.
Paman Tingga lalu mengajak mengobrol, bertanya-tanya mengenai sekolah Joni. Terpaksa lah Joni menimpalinya, menjawab semua pertanyaannya dengan lengkap. filmbokepjepang.com Paman Tingga lalu juga bercerita mengenai dirinya serta anak-anaknya yg tetap kecil.
Mengenai kota M yg katanya tumbuh pesat sebab menjadi pusat perdagangan bagi kota-kota kecil kurang lebihnya. Paman Tingga ini seorang pedagang yg konon sedang naik daun. Ia tidak jarang mundar-mandir ke ibukota mengurus bisnisnya. Joni bahagia juga mendengar ulasannya mengenai lika-liku bisnis, mesikipun dunia itu sangat asing baginya.
Namun ketika mobil mulai bergerak, Paman Tingga berhenti bercerita. Bahkan tidak lama kemudian ia terkesan terkantuk-kantuk. Baru 10 menit mobil melaju, Paman Tingga telah menyandarkan kepalanya di jok serta tertidur nyenyak. Joni tetap mengunyah kacang, memandang ke luar jendela, melihat alangkah kotanya dengan cepat tertinggal di belakang.
Tanpa sadar, ia melamunkan lagi momen semalam …..
Pondok itu tetap sepi serta tetap bagaikan magnit, luar biasa kedua remaja itu untuk datang berkunjung, meski setiap kali pula mereka ingin menghindar. Mungkin juga bagaikan lampu yg luar biasa laron-laron terbang mendekat. Kalau terlalu dekat, pastilah mereka bakal hangus terbakar, bukan? Namun bagaimana apabila laron-laron itu telah terbakar api asmara sebelum menghampiri sang lampu?
Maya serta Joni mengendap-endap mendekat, sambil melihat sekeliling, kalau-kalau ada orang melintas. Tampaknya tdk ada seorang pun di kurang lebih. Joni menggenggam erat tangan kekasihnya, perlahan-lahan mendekati pondok. Serangga malam menghentikan musik mereka setiap kali sepasang remaja ini melangkah. Namun seusai mereka berlalu, serangga itu kembali ramai memperdengarkan musik mereka.
Joni langsung mengajak Maya masuk. Pondok itu pasti saja gelap gulita. Seusai berbagai saat, barulah mata mereka dapat menyesuaikan diri, dapat melihat ruang kosong dengan dipan kayu itu. Joni segera duduk, serta Maya segera naik ke pangkuannya.
Mereka langsung berciuman, tanpa bertukar kata lagi. Nafas Maya telah memburu sejak tadi, bukan hanya sebab wajib berlangsung cepat serta setengah berlari, namun juga sebab ia terbukti rutin bergairah apabila berduaan dengan Joni.
Ciuman mereka tidak lagi lembut-mesra semacam ketika di pantai tadi, melainkan bergelora, saling pagut serta saling mengulum. Nafas mereka berdua berdesahan, saling menyerobot semacam hendak saling mengalahkan. Kedua pasang bibir mereka saling menekan memilin, bergantian menghisap-hisap. Kedua lidah mereka bergelut bergelung semacam dua naga kecil yg bermain-main di taman basah serta hangat yg merupakan mulut mereka.
Berkali-kali Maya semacam tersedak, tidak tahan diperperbuat begitu bergairah oleh kekasihnya. Namun berkali-kali pula ia kembali mengulum bibir pemuda itu, membiarkan lidahnya bermain terus jauh ke dalam mulutnya, menyentuh langit-langitnya, memunculkan rasa geli serta hangat.
Semacam biasanya, Maya hanya menggunakan kaos tebal serta jaket, tanpa beha. Dengan leluasa, tangan Joni segera menelusup menelusuri bukit-bukit indah di balik kaos itu. Bukit-bukit yg naik turun, membusung penuh, kenyal-padat, hangat. Tangan Joni langsung gemas meremas, memijat, menekan. Jari-jarinya bermain ringan di atas kedua puting yg telah menegang tegak.
Maya pun mengerang merintih merasakan kedua budah dadanya bagaikan dipenuhi uap panas, bergulung-gulung seakan badai yg sedang melanda bumi. Sambil memeluk leher Joni, gadis itu membusungkan dadanya, memajukan seluruh tubuhnya, menghenyakkan kedua payudaranya di tangan kekasihnya. Ia ingin diremas lebih keras lagi, lebih bergairah lagi.
Mulut Joni meninggalkan mulut Maya, saat ini menciumi lehernya yg jenjang. Menciumi kulit mulus-lembut nan harum di bawah telinganya. Menggigit cuping telinga itu, membikin Maya terkejut, namun juga sangat bahagia. Apalagi kemudian Joni menggigit pula lehernya, pelan-pelan saja. Oh, geli sekaligus nikmat rasanya diperperbuat semacam itu. Semacam disengat-sengat bara kenikmatan yg membangkitkan api birahi terus besar.
Maya memajukan duduknya, membawa sedikit tubuhnya, jadi mulut Joni saat ini terus turun. Cepat-cepat Maya membawa kedua tangannya, membiarkan Joni menaikkan kaosnya. Segera dua payudara gadis yg kenyal-padat itu terpampang, indah sekali dalam keremangan malam, putih bersih bagaikan bersinar.
Hmmm,… Joni menenggelamkan wajahnya di lembah harum di antara dua bukit indah itu. Hmmm …, tubuh Maya rutin penuh keharuman sabun wangi, serta juga bedak yg biasa digunakan bayi. Hmmm …., sungguh menggairahkan rasanya menciumi dada ranum yg agak basah oleh keringat itu. Dengan gemas, digigitnya sedikit daging di pangkal salah satu payudara itu. Maya mengerang. Maya merintih.
“Uuuh ….,” Maya merintih ketika mulut Joni naik serta mengulum puting sebelah kiri.
Tubuh gadis itu menggelinjang ke kiri.
“Aaaah ….,” Maya mengerang ketika Joni meremas payudara sebelah kanan. Tubuh gadis itu bergeser ke kanan.
Begitulah terus. Ke kiri. Ke kanan. Ke kiri ke kanan. Gerakan-gerakan Maya memunculkan gesekan nikmat di bawah sana, di tempat selangkangannya yg terhenyak rapat di pangkuan Joni. Ada cairan bening tipis mengalir pelan dari dalam tubuhnya, membasahi celana dalamnya. Ada rasa hangat turun bersama ajaran itu. Ada rasa geli-nikmat yg merayap perlahan ke seluruh penjuru tubuh.
Dengan satu tangannya yg tetap bebas, Joni menyingkap rok Maya lebih ke atas, jadi antara dirinya serta gadis itu saat ini hanya ada seutas kain nilon tipis yg telah basah di sana-sini. Seusai itu, tangan Joni masuk menelusup dari belakang. Maya mengerang merasakan tangan itu membawa kehangatan ke tahap belakang tubuhnya yg penuh-padat itu.
Maya merintih ketika Joni meremas-remas tahap itu, seolah-olah sedang memeras buah hendak mengambil airnya. Gadis itu terus memajukan duduknya, terus rapat menempelkan tahap bawah tubuhnya ke pangkuan Joni. Malam terasa terus panas. Keringat timbul di berbagai tahap tubuh keduanya; di ketiak, di punggung, di tengkuk.
Lalu celana dalam Maya terlepas telah, entah oleh tangan Joni alias oleh tangannya sendiri. Tdk jelas lagi, siapa meperbuat apa dalam pergumulan bergairah yg tidak terkendal ini. Kedua tangan Joni saat ini ada di bawah. Yg satu meremas-remas di belakang, yg lain menelusup ke depan. Maya membawa tubuhnya, tdk lagi duduk di pangkuan Joni, memberbagi keleluasaan serta keleluasaan terhadap kedua tangan pemuda itu.
Joni pun segera mekegunaaankan keleluasaan itu. Jari-jarinya mengusap-menelusupi kewanitaan Maya yg terasa panas membara. Gadis itu menggelinjang luar biasa ketika merasakan ujung jari Joni menyentuh-nyentuh tahap-bagian yg sangat sensitif di bawah sana.
Rasanya, tahap-bagian itu telah berubah seluruhnya menjadi ujung saraf belaka, tdk dilapisi apa-apa. Jadi setiap sentuhan, seberapa pun ringannya, mampu mengirimkan sentakan-sentakan kenikmatan ke seluruh tubuh.
Lalu celana panjang Joni juga telah terbuka. Sekali lagi, entah siapa yg meperbuatnya. Mungkin Joni, mungkin Maya, mungkin keduanya. Kejantanan Joni tahu-tahu juga telah di luar, tegak berdenyut. Maya meraihnya dengan gemas, tersentak merasakan alangkah panasnya otot-kenyal yg menggairahkan itu.
Joni mengerang ketika merasakan tangan halus lembut meremasnya di tahap yg sangat sensitif, di ujung yg telah sedikit basah pula. Lalu tangan Maya menuntun kejantanan Joni ke depan kewanitaannya.
Oh, Maya menggosok-gosok kewanitaannya dengan otot-kenyal padat panas itu. Oh, rasanya nikmat sekali bagi keduanya. Menggelitik-gelitik, memunculkan geli nikmat di mana-mana.
Dengan kedua tangannya yg kokoh, Joni saat ini menopang tubuh Maya. Kedua telapak tangannya menjadi tumpuan dari pantat gadis itu, sementara dengan tangannya Maya terus menggosok-gosokkan kejantanan Joni. Pelan-pelan, kewanitaannya terasa terus menguak, terus membuka.
Apalagi cengkraman tangan Joni juga ikut merentangkan tahap bawah itu, membikinnya terus terbuka. Kejantanan yg kenyal-tegang itu saat ini menelusuri permukaan kewanitaan Maya, memunculkan rasa geli yg sangat nikmat. Membikin liangnya terus basah serta licin. Berdenyut-denyut pula.
Sesekali, ujung kejantanan Joni menelusup sedikit ke dalam. Oh,… Maya terpejam merasakan tusukan-tusukan kecil menyeruak ke dalam tubuhnya. Ahhh …, Joni juga terpejam merasakan ujung-ujung sarafnya semacam dibelai-belai mesra.
Betapa hangat, basah serta licin permukaan liang kewanitaan itu. Alangkah halus, bagaikan sutra. Maya mengerang-merintih, terus memainkan otot-kenyal di tangannya, menggosok ke depan ke belakang, memutar-mutar.
Lalu pelan-pelan Joni menurunkan tubuh Maya, ….. cuma sedikit saja, mungkin cuma tiga senti. Namun itu telah lumayan membikin Maya tersentak, mengerang “Aaah…”, merasakan suatu benda tumpul hangat menyeruak ke dalam tubuhnya. Rasanya sedikit pedih, namun juga geli serta nikmat. Bercampur baur. Mengejutkan.
“Jangan, Joni….,” desah Maya sambil berusaha membawa tubuhnya. Namun entah kenapa, ia tidak mampu meperbuat faktor itu. Rasa nikmat di bawah sana menahannya untuk bergerak. Maka akhirnya ia cuma menggeliat-geliat.
Joni mengerang pelan. Oh,.. hangat sekali di dalam sana. Ia merasakan ujung kejantanannya dibalut entah oleh apa. Terasa sempit namun juga licin, mencekal erat namun juga berdenyut-denyut. Dengan kedua tangannya, Joni mempertahankan posisi tubuh Maya yg saat ini bagaikan mengambang: antara atas serta bawah, antara kenikmatan serta kekhawatiran.
Maya merasakan nikmat luar biasa datang dari liang kewanitaannya yg saat ini bagaikan tersumbat sebentuk otot-kenyal. Tidak sadar, ia menggoygkan pinggulnya ke kiri serta ke kanan, menyebabkan si sumbat menyeruak dinding-dinding tahap dalam kewanitaannya, memunculkan kenikmatan tambahan.
Joni tetap menahan tubuh Maya supaya tdk melesak lebih ke bawah. Diam-diam ia khawatir bakal apa yg mereka perbuat. Ia takut apabila seluruh kejantanannya masuk serta merusak sesuatu di dalam sana, meski ia sendiri tidak tahu, ada apa di dalam sana.
“Aaaaaah!”, tiba-tiba Maya mengerang.
Orgasmenya datang bagaikan banjir bandang. Kedua kakinya mengejang, serta ia ingin merapatkan pahanya, menjepit kejantanan Joni untuk memunculkan kenikmatan yg lebih lagi. Namun tangan pemuda itu sangat kokoh mencengkram tubuhnya, jadi akhirnya Maya hanya menyerah saja.
Membiarkan tubuhnya berguncang-guncang ketika ia mencapai klimaks yg sedap itu. Kedua tangan Maya mencengkram bahu Joni. Tubuhnya meregang. Matanya terpejam erat, mulutnya setengah terbuka, mengeluarkan keluh berkepanjangan,
“Nggggggg….”.
Bersamaan dengan itu, Joni merasakan ujung kejantanannya bagaikan dipilin-diremas oleh daging kenyal hangat yg bergerak-gerak liar. Sekuat tenaga ditopangnya tubuh Maya yg sedang bergetar hebat. Keringat Joni membasahi badannya, sebab tubuh gadis itu tdklah ringan. Apalagi kalau sedang meregang-mengejang semacam ini.
Lalu, Joni merasakan klimaksnya datang, ketika Maya tetap mengerang-merintih dengan kedua tangan mencengkram bahunya. Cepat-cepat Joni membawa tubuh gadis itu, mesikipun Maya terdengar memprotes. Ia tetap lumayan waras untuk tdk menumpahkan cairan cintanya di dalam. Dengan satu gerakan, ia menggeser duduknya. Kejantanannya lepas dari cengkraman permukaan liang yg sebenarnya sangat menjanapabilan kenikmatan itu.
Maya pun akhirnya sadar apa yg dihindari Joni. Gadis itu cepat-cepat menggeser ke arah berlawanan. Ia melihat ke bawah, ke arah otot-kenyal yg tetap tegak serta semacam bergerak-gerak menggeliat. Oh,.. cepat-cepat diraihnya tahap tubuh Joni yg tadi memberbagi kenikmatan di tubuhnya itu. Cepat-cepat ia meremas, ingin berpartisipasi dalam pencapaian klimaksnya.
“Aaaaah!” Joni mengerang panjang, merasakan tubuhnya bagaikan disentak-sentak ketika cairan-cairan cinta memancar kuat dari kejantanannya.
Tangan Maya yg halus terasa meningkatkan nikmat pancaran itu, sekaligus menampung cairan-cairan kental panas yg berebut keluar.
Maya terduduk di samping Joni, dengan tangan tetap mencengkram, merasakan getaran-gejolak klimaks kekasihnya. Joni berkali-kali mengerang, dengan tubuh meregang serta kedua tangan bertelektekan di dipan. photomemek.com Maya merasakan otot-kenyal berdenyut-denyut dalam genggamannya. Menakjubkan sekali!
Betapa kuatnya klimaks Joni hari ini, menyebabkan tubuhnya semacam dioyak-oyak, tulang-tulangnya semacam lepas, ototnya semacam meledak. Ia menghempaskan tubuhnya di dipan, diikuti Maya yg berbaring di sebelahnya. Keduanya tetap telanjang di tahap bawah, terengah-engah semacam habis berlari sepanjang hari. Tangan Maya tetap menggenggam di bawah sana, bahagia dapat menampung tumpahan cinta kekasihnya. Hangat serta licin rasanya.
Lamunan Joni buyar ketika mobil yg ditumpanginya membelok tajam, menyebabkan tubuh Paman Tingga membentur tubuhnya. Lelaki setengah baya itu tetap tertidur, cuma menggumam tidak jelas, lalu kembali menegakkan tubuhnya di sandaran kursi.
Joni menghela nafas panjang. Kota kelahirannya terus jauh tertinggal. Mobil melesat laju di jalan raya antarkota. Di kiri-kanan jalan, sawah luas terbentang, menghijau bagaikan hamparan karpet . Langit tampak biru dibercaki awan putih. Puluhan burung bangau tampak terbang ke arah selatan.
Joni tiba di kota M menjelang sore. Rumah Paman Tingga lumayan besar serta Joni mendapat kamar di belakang, dekat dapur serta gudang. Seusai beristirahat sebentar, Paman Tingga mengajak Joni menuturkan agenda mereka untuk dua bulan mendatang. Mendengar kata dua bulan, Joni mengeluh dalam hati. Lama sekali rasanya dua bulan itu.
Lalu, keesokan harinya Joni diantar Paman Tingga ke tempat kursus yg telah ramai oleh pemuda sebayanya. Ruang belajar tampak jauh lebih besar dari kelas di sekolah di kota kelahirannya. Kawan-kawan barunya juga jauh lebih tidak sedikit, serta jauh lebih tidak sedikit tingkah. Sebagian dari mereka bahkan telah bertingkah semacam layaknya remaja kota besar, menggunakan kaca mata hitam segala. Joni tersenyum simpul melihat salah seorang dari mereka menggunakan kacamata dengan cara terbalik. Pastilah itu kacamata pinjaman!
Demikianlah, hari-hari berikutnya Joni sibuk mengikuti kursus di kota M serta mulai dapat melupakan hal-hal lain. Konsentrasinya penuh ke pelajaran, serta hanya sekali-sekali ia teringat bakal Maya serta kota kelahirannya. Hari-hari pun terasa terus cepat berlalu.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Related Posts
Cerita Seks : Pacarku, Kakaknya Dan Ibunya Yang Puas Akan Kenikmatan Yang Aku Berikan
Comments Off on Cerita Seks : Pacarku, Kakaknya Dan Ibunya Yang Puas Akan Kenikmatan Yang Aku Berikan
Cerita Istriku, Negro & Pijat Plus
Comments Off on Cerita Istriku, Negro & Pijat Plus